Apakah “Sikap Doa Saya” sudah benar?

Sering kita melihat gambar kepala pria dengan rambut panjang dan helm yang bertanduk. Gambaran ini sepertinya terinspirasi dari bangsa Viking di Eropa Utara yang dikenal sebagai bangsa yang tangguh dalam berpetualang dan menaklukkan bangsa-bangsa di luar daerahnya. Tapi ternyata, gambaran pejuang bangsa Viking yang menggunakan helm bertanduk seperti ini, ternyata tidak didukung oleh fakta sejarah.

Menurut penemuan arkeologis, bangsa Viking yang terkenal hebat ini ternyata hanya menggunakan helm biasa tanpa tanduk. Rupanya helm yang bertanduk ini diciptakan dari inspirasi pengajaran para pemimpin Gereja waktu itu untuk menggambarkan bangsa Viking sebagai bangsa yang demonik atau satanik, karena tidak menyembah pada Allah, tetapi kepada dewa-dewa.

Pemberian label ‘jahat/setan’ ini rupanya masih sering kita jumpai di zaman ini, yang mengganggap diri dan kelompoknya sebagai orang benar dan merasa beruntung dan bersyukur, karena sudah berada di jalan yang benar. Sikap ini biasanya sekaligus diikuti sikap merendahkan orang lain dan memberikan cap atau label buruk, bahwa mereka berasal dari yang jahat.

Sikap sepertilah ini yang ditunjukkan Yesus dalam perumpamaan Injil (Luk 18:9-14) yang membandingkan sikap doa, antara Orang Farisi (sebagai kelompok yang merasa diri kudus) dengan sikap doa dari pemungut cukai.

Tentang Orang Farisi, Yesus berkata: ‘Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain; aku bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini!

Sikap arogan dan terlalu percaya diri ini tentu sama sekali bukan lah sikap seorang pengikut Kristus. Keselamatan memang sudah disediakan Allah dan Allah sangat menghendaki keselamatan kita.

Tetapi jaminan keselamatan ini tidak diukur hanya dengan kesetiaan kita melakukan segala ritual keagamaan, seperti orang yang sering mengatakan: ‘Tuhan, Tuhan’. Tetapi Yesus sendiri mengatakan dalam Injil yang lain, bahwa hanya mereka yang melakukan kehendak Allah lah, yang akan menikmati keselamatan.

Dengan demikian, sangat relevan apa yang dikatakan Surat Kedua Rasul Paulus kepada Timotius dalam bacaan II yang mengatakan: ‘Aku telah mengakhiri pertandingan dengan baik, aku telah mencapai garis akhir, dan aku telah memelihara iman.

Di sini, Paulus mengatakan bahwa hidupnya adalah sebuah sebuah pertandingan. Ia tidak merasa dirinya sudah menjadi pemenang karena imannya kepada Yesus, tapi ia harus berjuang seperti dalam suatu perlombaan, sehingga akhirnya boleh mencapai garis akhir yang sudah disediakan Tuhan. Inilah yang juga harus kita perjuangkan dan kita pelihara dalam seluruh hidup kita, sehingga jangan sekali-kali merasa yakin dan beruntung, bahwa kita udah menjadi pemenang.

Sikap orang Farisi dalam perumpamaan ini, mungkin saja pernah menjadi sikap kita sendiri yang menganggap diri sebagai orang yang beruntung dibandingkan dengan yang lain. Begitu mudah dan menyenangkan membicarakan kelemahan orang lain, tanpa pernah berefleksi pada kualitas hidupnya sendiri.

Sungguh disayangkan jika sikap ini mungkin terjadi di lingkungan Gereja, yang seharusnya dikenal sebagai komunitas umat beriman yang dipilih dan dibaptis untuk menjadi Kristus yang lain. Sudah seharusnya seorang berlabel Kristiani, juga mencerminkan kualitas seperti Kristus sendiri yang berbelas kasih, yang memberi dukungan, yang menyembuhkan, yang membangkitkan.

Inilah kualitas iman sejati yang harus selalu dipertanyakan dalam hidup kita masing-masing, lebih daripada segala ulah kesalehan yang kita lakukan dalam ritual keagamaan. Iman kita akan lebih berkualitas dan berdaya guna, jika rutinitas ritual keagamaan kita, juga mampu menghasilkan pribadi yang penuh berkat, melalui kehadiran, sikap, dan perkataan kita yang mampu memberikan dukungan, membangkitkan semangat dan penyembuhan kepada orang-orang lain, yang selama ini sudah dicap ‘jahat/berdosa’ oleh lingkungannya.

Melalui contoh dua tokoh dalam perumpamaan Injil Lukas (Luk 18:9-14), saya mengajak kita bersama untuk merenungkan 2 hal berikut ini:               


Pertama, Kodrat kita semua sebagai Gereja yang berziarah adalah suatu perjalanan yang harus diperjuangkan. Pertandingan ini bukan suatu kompetisi dengan orang lain untuk mencapai keselamatan, menjadi siapa yang tercepat dan terhebat, dengan membandingkan kualitas iman kita dengan yang lain, apalagi menghakimi yang lain. Pertandingan kita yang sesungguhnya adalah berkompetisi dengan diri sendiri, untuk selalu berjuang untuk menjadi orang yang lebih baik, hari demi hari. Dengan kerendahan hati, kita selalu rutin bercermin, berefleksi: apakah kita sudah semakin maju dalam iman, seperti yang dikehendaki oleh Yesus. Jangan sampai iman kita hanya jalan di tempat, sehingga kita tidak akan mencapai garis akhir yang disediakan oleh Tuhan.


Kedua, Tuhan kita adalah Hakim yang adil. Ia tidak memandang kita dari penampakan luaran kita. Seperti yang kita dengar dari kitab Sirakh dalam bacaan Pertama: “Tuhan adalah hakim yang tidak memihak, Ia tidak memihak dalam pekara orang miskin, tetapi doa orang yang terjepit didengarkan-Nya.” Inilah gambaran Allah kita yang selalu memahami situasi kita, di saat orang lain sudah menghakimi dan menganggap kita rendah dan berdosa. Jika orang lain memandang kita sekilas dari luaran, tetapi hanya Tuhanlah yang tahu persis situasi kita masing-masing dengan segala permasalahan dan pergumulan yang kita hadapi. Mari kita ingat apa yang dikatakan Mazmur hari ini: “Tuhan itu dekat kepada orang yang patah hati, Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”


Mungkin kita semua bukan Viking seperti yang sering terdapat di kaos pendukung Persib, tapi kita semua adalah ‘bobotoh’ yang menurut arti katanya adalah pendukung dan pemberi semangat. Semoga kehadiran kita selalu memberikan dukungan dan doa kepada mereka yang dianggap lemah dan berdosa, dan bukan menjadi hakim-hakim yang sok tahu.

Semoga dengan dukungan dan doa kita, semakin banyak orang yang akan menikmati Garis Akhir, yang sudah disediakan Tuhan bagi kita yang percaya dan berharap padanya. Amin.

Oleh: Pst. Febry Ferdinan Laleno, OSC.