WKRI

Wanita Katolik Republik Indonesia: Saksi Perjalanan Sejarah bagi Gereja, Negara, dan Bangsa

Perjuangan menegakkan harkat dan martabat perempuan adalah ‘roh’ keberadaan dan perjuangan Wanita Katolik RI yang didirikan pada 26 Juni 1924 dengan nama Poesara Wanita Katholiek. Pada waktu itu, nasib kaum perempuan, khususnya buruh perempuan pabrik cerutu Negresco, mengalami kegelapan, hampa harapan, dan ketidakberdayaan dalam perjuangan.

PEREMPUAN dipandang tidak punya daya bahkan talenta untuk dikembangkan menjadi sosok yang berkemampuan, berwawasan, dan memiliki ketrampilan/keahlian di suatu bidang. Perempuan tidak lebih dari ‘konco wingking’ bagi kaum laki-laki, dengan mengambil peran yang dilakukan di dalam rumah seperti mengatur rumah tangga dan memenuhi kebutuhan seisi rumah (makan, minum, serta menyiapkan pakaian). Kaum perempuan telah dirampas dan diinjak-injak harkat dan martabatnya sebagai manusia, dengan pekerjaan yang diupah rendah dan masalah poligami.

Menyikapi cara pandang yang diskriminatif dan nuansa ketidakadilan di saat itu, putera kelima (puteri ketiga) dari Pangeran Sasraningrat (putera Mahkota Sri Paku Alam III) dan adik kandung R.A.J. Sutartinah (Nyi Hajar Dewantoro), Ibu R.A. Maria Soelastri Soejadi Sasraningrat bersama rekan-rekannya para alumni pendidikan Mendut (sekolah bagi para puteri yang didirikan pada 1908, dikelola oleh para Suster Fransiskanes, bertempat di sekitar Candi Mendut) tergerak untuk memperbaiki nasib dan taraf hidup para buruh perempuan.

Semangat dan tekad yang kukuh diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan di antaranya memberantas buta-huruf, meningkatkan ketrampilan dalam upaya membangun kemandirian, membuka cara pandang positif dalam memaknai hak dan kewajiban sebagai pekerja/buruh. Kegiatan di bidang kesehatan pada saat itu juga dilakukan dengan menyusuri desa-desa untuk memberi penyuluhan tentang hidup sehat dan memberi pertolongan pertama kepada orang sakit.

Seluruh kegiatan dilakukan dengan cara, tempat dan pendekatan yang sederhana sesuai kondisi di kala itu. Kegiatan dilakukan oleh sekitar 15 sampai 20 ibu-ibu dan para remaja puteri. Dalam kesederhanaan kegiatan dilakukan secara konsisten, tidak kenal lelah, dengan sikap disiplin yang kuat, dan semangat kerja sama untuk saling membantu serta melengkapi. Benih-benih solidaritas-subsidiaritas dan sikap asah-asih-asuh sudah meresap dalam diri setiap pribadi. (Diambil dari https://dppwkri.org/sejarah/)

Video Profil WKRI Paroki Pandu